Jumat, 16 Februari 2018

Siapa, Dia.

Senja itu mengerti,
sampai dimana batas kesabaranku ketika harus mencinta dalam diam.

Rangkasbitung, 21 September 2017.

Jika ada yang ingin aku salahkan atas cerita ini hanyalah waktu.
Aku bukan lagi aku, saat menatap matamu sore itu.
Rindu, pertemuan terakhir kita sepekan lalu.
Tak ada yang berubah, warna kulitmu saja, perasaan tetap sama.

Senyumanmu yang ku sebut candu, yakin suatu hari nanti akan menetas ku sebut rindu.
Tertawa menyambutku, yang tak mengerti dengan hidupmu yang selalu penuh kejutan.
Cara melangkahmu, bentuk rambutmu, khas senyumanmu siap ku rekam.
Ku pejamkan mata, berusaha menyimpan semuanya.
Jika nanti benar tak akan ku lihat lagi, setidaknya kau masih terekam dalam memori.

Senyummu sore itu seolah pertanda ucapan everythings gonna be okay lagi lagi kau siratkan.
Meski ku tau, kau pun sadar keadaan saat ini.
Angin dan senja seolah menjelma dengan sengaja menjadi kolaborasi keindahan alam yang bisa ku rekam bersama memori tentangmu.

Ingat kata terakhir yang ku katakan selalu.
Aku benci menjadi dia dalam hubunganmu.
Dan ku paham kau selalu hancur mendengar itu.
Meski tak kamu katakan, tatapan matamu berbicara. Aku tau kamu.

Malam itu pukul 8 waktu indonesia bagian barat sepanjang jalan basah, 
Menyisakan rindu yang sebentar lagi menyesap.
Aku pamit sayang,
semoga hubungan bahagia yang di impikan seluruh pasangan di dunia.
Bisa kamu rasakan.
Seperti kau bilang, manusia hanya bisa berusaha,
Kurasa usaha kita sudah cukup.
dan biarkan Tuhan memainkan kuasanya saat ini.

Di kereta Rangkasbitung-Serang,
sepanjang jalan tak ada yang istimewa kecuali jalan yang makin menggelap.
Tapi aku bersyukur,
perlahan ku sembunyikan kamu dalam pekat gelap.


Kramatwatu, 17 Februari 2017.

Kamu yang sudah hilang, menjelma jadi sosok lain.
Mau apa? ternyata belum usai.
Untuk kembali lagi dengan kisah yang seperti ini ini saja.

Siapa, Dia.

Senja itu mengerti,
sampai dimana batas kesabaranku ketika harus mencinta dalam diam.

Rangkasbitung, 21 September 2017.

Jika ada yang ingin aku salahkan atas cerita ini hanyalah waktu.
Aku bukan lagi aku, saat menatap matamu sore itu.
Rindu, pertemuan terakhir kita sepekan lalu.
Tak ada yang berubah, warna kulitmu saja, perasaan tetap sama.

Senyumanmu yang ku sebut candu, yakin suatu hari nanti akan menetas ku sebut rindu.
Tertawa menyambutku, yang tak mengerti dengan hidupmu yang selalu penuh kejutan.
Cara melangkahmu, bentuk rambutmu, khas senyumanmu siap ku rekam.
Ku pejamkan mata, berusaha menyimpan semuanya.
Jika nanti benar tak akan ku lihat lagi, setidaknya kau masih terekam dalam memori.

Senyummu sore itu seolah pertanda ucapan everythings gonna be okay lagi lagi kau siratkan.
Meski ku tau, kau pun sadar keadaan saat ini.
Angin dan senja seolah menjelma dengan sengaja menjadi kolaborasi keindahan alam yang bisa ku rekam bersama memori tentangmu.

Ingat kata terakhir yang ku katakan selalu.
Aku benci menjadi dia dalam hubunganmu.
Dan ku paham kau selalu hancur mendengar itu.
Meski tak kamu katakan, tatapan matamu berbicara. Aku tau kamu.

Malam itu pukul 8 waktu indonesia bagian barat sepanjang jalan basah, 
Menyisakan rindu yang sebentar lagi menyesap.
Aku pamit sayang,
semoga hubungan bahagia yang di impikan seluruh pasangan di dunia.
Bisa kamu rasakan.
Seperti kau bilang, manusia hanya bisa berusaha,
Kurasa usaha kita sudah cukup.
dan biarkan Tuhan memainkan kuasanya saat ini.

Di kereta Rangkasbitung-Serang,
sepanjang jalan tak ada yang istimewa kecuali jalan yang makin menggelap.
Tapi aku bersyukur,
perlahan ku sembunyikan kamu dalam pekat gelap.


Kramatwatu, 17 Februari 2017.

Kamu yang sudah hilang, menjelma jadi sosok lain.
Mau apa? ternyata belum usai.
Untuk kembali lagi dengan kisah yang seperti ini ini saja.